Dua Karya Beda Generasi



 Gambaran Dua Karya Beda generasi
 "Langit Makin Mendung" feat "Tuhan, izinkan Aku menjadi Pelacur" 


Oleh
Desi Ela Putri Anggraini
Anggradesi.elao@gmail.com

Gambar: Google.com

Sekilas Peristiwa hebohnya "Langit Makin Mendung"

Berbicara mengenai hebohnya dunia sastra maka, ingatkan kita akan dibawa pada karya fenomenal  cerpen “Langit Makin Mendung” (LMM) karya Kipandjikusmin. Ya, cerpen yang pernah membuat “heboh” jagad sastra Indonesia karena dinilai telah melanggar batas kepantasan sebagai sebuah teks cerpen yang ingin mengungkap persoalan-persoalan religi yang dianggap melecehkan agama, terlebih Islam. Cerpen yang pernah dimuat di majalah Sastra No. 8 (edisi Agustus) tahun 1968 itu telah mengundang reaksi umat Islam. Ratusan eksemplar majalah Sastra di berbagai toko, agen dan pengecer di kota Medan disita oleh Pihak Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Kantor majalah Sastra diberangus dan dicoreti dindingnya dengan berbagai hujatan dan hinaan. Redaktur majalah Sastra, H.B. Jassin harus berurusan dengan pihak yang berwajib, bahkan divonis satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun karena dianggap melakukan penodaan agama (pasal 156a KUHP).
Terjadi sebuah kesalahpahaman dalam dunia kesastraan pada masa itu, dilansir oleh beberapa artikel yang menyebutkan bahwa karya tersebut tidaklah benar-benar ingin melecehkan Islam. Namun jauh didalam karya tersebut Kipandjikusmin sendiri selaku pengarang mengatakan bahwa cerpennya hanyalah berisi tentang kritikan terhadap rezim Soeharto pada saat itu dan disisi lain Kipandjikusmin menghadirkan Tuhan dan tokoh Nabi adalah sebagai bentuk komunikasi lain dirinya terhadap kedua-Nya.

LMM bertutur tentang Nabi Muhammad yang turun kembali ke bumi. Muhammad diizinkan turun oleh Tuhan setelah memberi argumen bahwa hal itu merupakan keperluan mendesak untuk mencari sebab kenapa akhir-akhir ini umatnya lebih banyak yang dijebloskan ke neraka. Upacara pelepasan pun diadakan di sebuah lapangan terbang. Nabi Adam yang dianggap sebagai pinisepuh swargaloka didapuk memberi pidato pelepasan. Dengan menunggangi buroq dan didampingi Jibril, meluncurlah Muhammad. Di angkasa biru, mereka berpapasan dengan pesawat sputnik Rusia yang sedang berpatroli. Tabrakan pun tak terhindar. Sputnik hancur lebur tak keruan. Sedangkan, Muhammad dan Jibril terpelanting ke segumpal awan yang empuk. Tak disangka, awan empuk itu berada di langit-langit. Untuk menghindari kemungkinan tak terduga, Muhammad dan Jibril menyamar sebagai elang. Dalam penyamaran itulah, Muhammad berkeliling dan mengawasi tingkah polah manusia dengan bertengger di puncak Monas (yang dalam cerpen itu disebut “puncak menara emas bikinan pabrik Jepang”) dan juga di atas lokalisasi pelacuran di daerah Senen.
Lewat dialog antara Muhammad dan Jibril maupun lewat fragmen-fragmen yang berdiri sendiri, Kipandjikusmin memotret wajah bopeng tanah air masa itu: negeri yang meski 90 persen Muslim, tetapi justru segala macam perilaku lacur, nista, maksiat, dan kejahatan tumbuh subur. Lewat cerpen ini, Kipandjikusmin menyindir elite politik dengan cara culas. Soekarno disebutnya sebagai “nabi palsu yang hampir mati”. Soebandrio yang saat itu menjabat Menteri Luar Negeri disindirnya sebagai “Durno” sekaligus “Togog”.
Cerpen diakhiri dengan sebuah sindiran halus tapi pedas; sebuah sindiran yang persis menancap di ulu hati kepribadian manusia negeri ini. Begini bunyinya: “Rakyat rata-rata memang pemaaf serta baik hati. Kebohongan dan kesalahan pemimpin selalu disambut dengan lapang dada. Hati mereka bagai mentari, betapapun langit makin mendung, sinarnya tetap ingin menyentuh bumi.”
Sumber: http://sawali.wordpress.com/2007/langitmakinmendung.html

Sebuah cerpen yang menurut saya cukup “liar” dalam berimajinasi. Dalam penafsiran awam saya, LMM bisa dibilang sebagai sebuah cerpen multiwajah. Ada banyak dimensi yang ingin dihadirkan di dalamnya. Politik, ekonomi, agama, sosial, budaya, bahkan juga militer,  tampak kompleks dengan segala persoalan yang dibahas, hal ini membangun sebuah desain cerpen yang liar, menegangkan, sekaligus menghanyutkan. Lewat gaya bertuturnya yang lugas dan sarat kritik, LMM mampu menggiring imajinasi pembaca dan hanyut dalam berbagai emosi.

Muhidin M Dahlan dengan Karyanya "Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur"

Seperti halnya Langit Makin Mendung (1968) Karya Kipandjikusmin yang dianggap fenomenal, hal ini juga senada dengan karya Muhidin M Dahlan dengan Tuhan, Izinkan Aku menjadi Pelacur (2003). Kedua karya tersebut berbicara mengenai persoalan religi sebagai tendensi dari keduanya. Jika "Langit Makin medung" dianggap melecehkan agama terlebih Islam, karena seolah-olah mengfisualisasikan Tuhan, lain halnya dengan "Tuhan, izinkan aku menjadi pelacur" yang dianggap telah mendeskritkan aktivis islam terlebih mendeskriminasikan serta melecehkan kaum islam dengan simbol pelacuran.

Berikut gambaran "Tuhan, Izinkan Aku menjadi Pelacur". Ini kisah seorang perempuan bernama Nidah Kirani. Seorang muslimah yang taat. Tubuhnya dihijabi oleh jubah dan jilbab besar. Kecintaannya pada agama membuat dia memilih untuk hidup yang sufistik. Dan keinginannya hanya satu yaitu menjadi muslimah yang beragama secara kiffah. Semangatnya dalam beragama seperti gayung bersambut ketika ia menerima doktrin-doktrin bahwa Islam yang ada di Indonesia sekarang ini tidak murni. Yang murni hanya ada dalam Quran dan Sunnah Rasul. Dengan tafsiran, Islam itu bukan agama. Islam itu Dien atau sistem yang hukum-hukumnya ditata dalam syariat. Klo belum ada pemerintahan untuk mengegakkan syariat itu, maka bukan dikatakan Islam. Singkatnya ia ikut tergabung dalam organisasi itu, Organisasi dimana jemaahnya ingin mendirikan negara Islam di Indonesia. Setelah sekian lama tergabung dalam organisasi itu, ia merasa tidak ada kemajuan dalam organisasi nya. Sistem yang tidak transparan yang didalamnya terdapat kepalsuan dan kebohongan.  Nidah Kirani merasa sangat kecewa. Belum lagi banyak masalah yang timbul akibat keaktifannya dalam organisasi itu. Bukannya segera bertobat dan kembali ke jalan Allah.  Ia malah justru merasa kecewa dengan Allah. ia merasa tidak ada intervensi dari Allah padahal ia telah sebegitu berjuangnya selama menegakkan agama.
Di saat kondisi nya yang galau, ia justru melampiaskan kekecewaannya dengan melakukan free sex. Disini penulis menjelaskan bahwa semua yang tergoda oleh Nidah Kirana untuk melakukan freesex adalah pria-pria yang merupakan aktivis Islam. Mereka adalah orang-orang munafik pikir Nidah. Akhirnya ia pun menjual diri nya pada para pria. Pelacur, pilihan yang dia pikir lebih menguntungkan ketimbang hanya sekedar free sex dengan teman-teman kampusnya.
Sumber:
http://flpcianjur.blogspot.com/2012/03/sastra-islam.html

Esensi "Langit Makin Mendung" dan "Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur"
Seperti yang telah kita ketahui, segalanya menjadi sah ketika masuk kedalam dunia sastra. Namun terdapat beberapa batasan juga yang harus ditaati dan dipertimbangkan terlebih berbicara mengenai agama, yang dianggap sebagai suatu yang riskan untuk dibicarakan karena hal ini masuk kedalam aturan yang telah dibatasi terlebih berbau SARA (Suku, agama, dan ras).
Terdapat relasi antara kedua karya beda generasi tersebut. Keduanya mempunyai tema sentral yang sama, berbicara mengenai persoalan religi terlebih Islam sebagai tendensinya. Namun keduanya juga terlahir bukan semata-mata sebagai karya yang tak bernilai dan asal menggunakan "keliaran" imajinasi. Dibalik kedua karya tersebut menghadirkan nilai estetiknya masing-masing. "Langit Makin Medung" menghadirkan esensi mengenai kritik rezim Soeharto yang dibalit dengan hadirnya imajinasi Nabi Muhammad sebagai solusi penyelesaian masalah terhadap kerusakan bumi saat itu. Berbeda dengan "Tuhan, Izinkan Aku menjadi Pelacur" dengan esensinya terhadap gambaran kehidupan konflik batin seorang muslimah yang menghadapi ketidakadilan hidup.
Seperti yang telah kita ketahui, karya sastra hadir sebagai cerminan masyarakat. Pengarang hadir menjadi wakil dari masyarakat tersebut. Sehingga hadirnya karya sastra akan kembali pula pada penghayatan masyarakat sebagai penikmatnya. Hal ini menjadi sah ketika, masyarakat sebagai pembaca adalah yang berhak untuk menghakimi. Hakim terhadap karya sastra tersebut sebagai produk pantulan terhadap persoalan kehidupan masyarakat sosial.


Komentar

Postingan Populer