Sekilas Membaca
Sekilas
Membaca Kepenulisan Eka Kurniawan, dari Indonesianis hingga Dipujanya
Dikancah Internasional
Oleh:
Desi
Ela Putri Anggraini, Sastra Indonesia
Email:
anggradesi.elao@gmail.com
Sekikas
"Perjumpaan" dengan Eka Kurniawan
Gambar: Google.com |
Nama Eka Kurniawan pertama kali saya temukan dalam salah satu blog yang saya ikuti. Bisa dibilang, dari blog inilah pertama kalinya saya mengenal sastrawan berkacamata itu. Dalam blog tersebut dituliskan bahwa Eka adalah seorang satrawan yang punya nama, hal ini yang kemudian membuat saya tertarik untuk tahu sepak terjang kepenulisanya. Di salah satu blog yang saya baca, saya melihat salah satu bukunya; Perempuan Patah Hati Yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi. Saat itu, disertai tulisan yang mengulas karyanya itu pula, blog itu berhasil membuat saya penasaran bahkan untuk sekedar tahu dan membaca karya-karyanya. Sebenarnya, sebelum itu nama Eka Kurniawan tak begitu saya ketahui. Selain saya bukan pembaca karangan sastra yang taat, saya juga tidak banyak bersentuhan dengan dunia sastra yang berkembang. Tapi melalui blog yang saya baca, akhirnya saya bisa mengetahui bahwa Eka ternyata punya situs yang bisa dikunjungi (EkaKurniawan.com). Dari website itulah saya berusaha berkenalan dengan Eka melalui tulisan-tulisannya.
Dari
Indonesianis hingga Dipujanya Di kancah Internasional
Eka
Kurniawan Dipuji Sebagai Wajah Baru dalam Sastra Dunia-- Terdapat sebuah ulasan
berupa berita yang dikeluarkan oleh salah satu situs web di Australia yang
membicarakan mengenai sastrawan Indonesia Eka Kurniawan sebagai penulis
berbakat.
REPUBLIKA.CO.ID,
MELBOURNE --
Novelis Eka Kurniawan disebut sebagai "Wajah Baru dalam Kesusastraan
Dunia" menyusul penerbitan novelnya dalam Bahasa Inggris, Beauty Is a
Wound. Sejak pekan lalu ia berada di Australia, menghadiri festival penulis di
Melbourne dan Brisbane.
Penyebutan
itu disampaikan oleh The Text Publishing Company yang menerbitkan Cantik Itu
Luka ke dalam Bahasa Inggris di Australia. Novel karya Eka di awal tahun
2000-an ini diterjemahkan oleh Annie Tucker dan secara bersamaan juga
diterbitkan di Amerika.
Menjelang
tampil di Melbourne Writers Festival, Eka diwawancara oleh Jewel Topsfield,
wartawan kelompok media Fairfax di Indonesia. Topsfield memberi judul
tulisannya dengan "Eka Kurniawan a successor to Indonesia's greatest
writer, Pramoedya Ananta Toer".
Julukan
itu sebenarnya berasal dari ahli Indonesia Benedict Anderson, yang menyatakan
bahwa setelah setengah abad, Pramoedya Ananta Toer, salah satu penulis terbesar
Indonesia, kini telah mendapatkan penerusnya.
Dari
dalam negeri pun, Eka telah diprediksikan oleh The Jakarta Post sebagai penulis
hebat. Saat novel Cantik Itu Luka terbit tahun 2002 oleh AKY Press dan Penerbit
Jendela, Yogyakarta, suratkabar itu menyebut Eka "akan menjadi salah satu
penulis berpengaruh di Tanah Air".
Dalam
perbincangan lepas dengan Farid M Ibrahim dari ABC, Sabtu (29/8) malam, Eka
menjelaskan novel itu lahir sebagai hasil dari proses permagangan penulis yang
pernah dia ikuti di Yogyakarta.
Proses
permagangan yang dilaksanakan oleh Insist Yogyakarta itu kabarnya berhasil
menelurkan sejumlah novel. "Dan salah satunya adalah Cantik Itu
Luka," ujar Eka dalam perbincangan di rumah salah seorang warga Indonesia
di Melbourne.
Penerbit
Text Publishing sendiri melakukan interview dengan Eka untuk menyambut
penerbitan novel setebal hampir 500 halaman itu di Australia.
Wawancara
dilakukan oleh Alice Lewinsky, yang menanyakan bagaimana Eka merasa dan
menanggapi, dirinya diperbandingkan dengan penulis besar seperti Pramoedya dan
Gabriel Garcia Marquez.
"Biasanya
saya tak menjawab pertanyaan demikian," ujar Eka.
"Semua
penulis sama saja. Pramoedya sendiri pernah dibandingkan dengan Maxim Gorky
atau Steinbeck, dan Marquez disetarakan dengan William Faulkner atau Juan
Rulfo. Hal ini bukan sesuatu yang membanggakan tapi juga tidak mengganggu. Saya
kira itu hanya cara sederhana untuk memahami penulis," katanya.
Eka,
kata sejumlah orang yang mengenalnya, memang terkesan pendiam - bahkan pemalu.
Hal itu antara lain bisa terlihat dalam pengakuannya sendiri, yang ia tulis di
websitenya http://ekakurniawan.com, mengenai sebuah pesta yang ia hadiri
menjelang pembukaan festival penulis di Melbourne.
"Malam
itu saya berkenalan dengan satu sosok, yang saya yakin banyak orang
mengenalnya: Jonathan Galassi. Saya sampai terdiam selama beberapa saat. Ia
seorang penyair (Left Handed: Poems), seorang penerjemah (puisi-puisi Giacomo
Leopardi), belum lama ini jadi novelis (Muse), dan bos penerbit (Farrar, Straus
and Giroux)," tulis Eka.
“Bagaimana
rasanya sekarang menjadi ‘dikenal’?” Kurang-lebih seperti itu ia iseng
bertanya. Seperti biasanya, saya berbalik ke kepala dan mencari jawaban itu di
sana. Saya tak menemukannya. Saya tak memiliki pertanyaan itu dan tak berpikir
dengan cara seperti itu," tambahnya lagi.
"Dengan
agak malu-malu saya bilang, “Tidak tahu. Ini heboh karena diterbitkan dalam
bahasa Inggris aja.” Ia tersenyum lalu termenung. Saya juga larut dalam pikiran
sendiri. Banyak orang punya dunia yang lebih luas di dalam pikirannya. Sambil
bercakap-cakap hal lain, beberapa di antaranya gosip yang membuat saya
tersenyum, kami terus asyik dengan pikiran sendiri," tutur Eka.
Bagaimana
pun, dengan penerbitan karyanya ini ke dalam bahasa Inggris, jalan kepada
pembaca kesusastraan dunia telah terbuka bagi Eka.
Dalam
wawancara dengan Text Publishing itu, Eka mengaku senang, "Seperti
mendapat kode 'ping' dari makhluk luar angkasa," ujarnya. Selama berada di
Melbourne, Eka ditemani istrinya Ratih Kumala dan anak mereka, Kinan.
Membaca
ulasan tersebut saya sebagai penikmat buku terlebih novel, merasa jika prestasi
Eka Kurniawan yang didapatkannya cukup pantas. Hal ini selaras dengan apa yang
ia tulis. Tak banyak dari penulis Indonesia dengan idealismenya konsisten dalan
menulis. Eka adalah salah satu dari penulis tersebut. Walau saya belum begitu
paham dan membaca tuntas semua karyanya, namun dari beberapa artikel yang saya
baca, Eka meruoakan salah satu penulis dengan karakter kuat senada dengan
sastrawan sekelas Pramodya Ananta Toer. Hal ini diperkuat dari dua novelnya: Cantik
Itu Luka dan Lelaki Harimau. Di sana selalu ada penggambaran watak dan
sifat manusia yang tak utuh. Bahkan manusia adalah mahluk yang selalu berada pada dua perwatakan baik dan
buruk. Yakni mahluk yang mengalami peristiwa-peristiwa yang ideal dan sial.
Dengan gagasan semacam itulah, terlihat karakter tokoh-tokohnya yang selalu
digambarkan sebagai manusia yang tak utuh, yang tak ideal. Dengan cara inilah
saya kira, Eka ingin merepresentasikan dunia manusia yang sebenar-benarnya
melalui simbolik yang ia hadirkan dalam setiap novelnya.
Eka
Kurniawan ---disebut-sebut sebagai penerus Pramoedya Ananta Toer--- dan
mendapat pujian dari media internasional, dia salah satu penulis Indonesia yang
berada pada tugu terdepan representasi sastra nasional. Tak hanya itu,
eksistensinya sebagai penulis dan sastrawan sudah tidak diragukan lagi. Hal ini
membuat saya merasa bangga pada berkembangnya kepenulisan sasrra di Indonesia.
Eka adalah penerus Pramodya Ananta Toer yang cukup mumpuni, hal ini karena keselarasan
gaya penulisanya yang konsisten terhadap idealis masing-masing. Hal ini juga
dikarenakan adanya kemiripan diantara mereka berdua dalam mencipta karya yang
salah satunya adalah lokal brand yang
keduanya terapkan. Pram dengan gaya kritik nasionalis dengan ganre berbalut
fiksi sejarah, sedangkan Eka dengan gaya modern yang merepresentasikan
kehidupan riil masyarakat sekitar melalui eksplor yang cukup
"vulgar".
Penguatan
Eksistensi Eka Kurniawan Di Dunia Internasional
Indonesia
patut berbangga, bertambah satu lagi diantara penulis berbakat Indonesia lain
yang mencetak nama dikancah dunia---Eka Kurniawan jadi nomine anugerah sastra
internasional--- adalah bukti nyata dari berkembangnya dunia sastra Indonesia
yang diakui oleh dunia.
Penulis
Indonesia, Eka Kurniawan, menjadi nomine pemenang anugerah The Man Booker
International 2016, Kamis (10/3/2016). Novel gubahan Eka, Man Tiger (Lelaki
Harimau), masuk dalam longlist (daftar panjang nomine) penghargaan itu. Nama
Eka bersanding dengan para penulis ternama, termasuk pemenang nobel
kesusastraan dari Turki, Orhan Pamuk. Daftar panjang itu merupakan nominasi
tahap awal. Selanjutnya, dewan juri akan mengumumkan shortlist (daftar pendek
nomine), pada 14 April. Adapun pemenang akan dipublikasikan pada 16 April.
Situs
resmi The Man Booker International, menjelaskan bahwa dewan juri menyeleksi 155
karya unggulan, sebelum menentukan karya terpilih. Dari proses seleksi itu,
akhirnya dipilih 13 buku, karya 13 penulis yang berasal dari 12 negara.
Jurnalis
veteran The Independent --yang bertindak sebagai ketua dewan juri-- Boyd Tonkin
menyebut 13 buku pilihan itu menggambarkan "keberagaman dunia fiksi"
pada era kiwari.
The
Man Booker International, merupakan penghargaan dunia sastra bergengsi di
Inggris. Populer dengan nama Booker Prize, peghargaan ini sudah digelar sejak
2005. Penghargaan diberikan setiap dua tahun, untuk penulis dari berbagai
negara, yang karyanya diterbitkan dalam bahasa Inggris --atau tersedia dalam
terjemahan bahasa Inggris.
Pemenang
akan mendapat hadiah sebesar 50 ribu poundsterling (sekitar Rp930 juta)
--dibagi rata untuk penulis dan penerjemah. Adapun Man Tiger, diterjemahkan
Labodalih Sembiring, seorang penulis, dan penerjemah yang berdomisili di
Yogyakarta. Novel itu diterbitkan oleh Verso Books (Inggris) --sebelumnya
dikenal dengan nama New Left Book-- yang kerap digelari sebagai penerbit
sayap-kiri.
Melihat
begitu bagusnya respon dan apresiasi terhadap karya Eka, hal ini memberikan
satu gambaran penting bahwa sastra tidak hanya soal rasa dan kata. Eka
membentuk sebuah harmoni yang selaras dan seirama membentuk sebuah komposisi
yang pas dalam menggambarkan ide dan gagasannya. Eka pernag berkata bahwa
karyanya minimal bisa diterima dan menghibur. Hal ini senada dengan yang ia
harapkan tak hanya bisa diterima khalayak namun masyarakat luas dapat
menikmatinya karena mereka merasa telah terhibur. Hal ini pula yang menjadikan
Eka termotivasi untuk menulis.
Komentar
Posting Komentar
Tinggalkan kesanmu, dan kritik aku